... DAKWAH > untuk Kemajuan diri dan Ummat I Qur'an > jantungnya Surat Yaasin I Masjid > jantungnya masyarakat Islam I Shalat berjamaah > jantungnya masjid I Silaturahmi > jantungnya umat Islam I Dakwah > jantungnya agama I Pengorbanan > jantungnya dakwah I Musyawarah > jantungnya pengorbanan I Sami'na wa atha'na > jantungnya musyawarah I Dakwah > maksud hidup I Hidup > dakwah I Dakwah > sampai mati I Mati > dalam dakwah I La ilaaha illallah muhammadur rasulallah ....

Friday 7 November 2014

REZEKI YANG SIFATNYA MEMAKSA

Allah Swt sudah menetapkan rezeki. Layaknya maut, jodoh, rezeki juga akan datang dengan cara memaksa. Walau pun kita menghindar, pergi jauh, rezeki akan mengejar kita.

Siang tadi saya keluar kantor menuju masjid, untuk sholat Jum'at. Setelah turun dari lift, ternyata bertemu dengan bos besar. Akhirnya kami berjalan bersama. Sesampainya di masjid, kami masuk ke tengah. Jarak saya dan bos agak berjauhan. Tapi kami sama-sama di dalam.

Jum'at usai. Setelah sholat sunnah, saya sempatkan untuk membuka Qur'an kecil yang biasa saya bawa di saku depan. Saya memperlama bacaan Qur'an agar bos saya tidak sabar. Dia pasti bosan, dan pasti kabur tunggang-langgang. Memang hari ini, saya kurang mood untuk ngobrol banyak dengan presiden direktur. Saya malu kalau makan selalu si bos yang bayar. Kalau saya keluarkan dompet, dia selalu merasa tersinggung. Dia memang terkenal ahli sedekah. Lagi pula, saya juga tidak punya janji untuk makan siang dengannya. Jadi saya teruskan bacaan Qur'an, dan niat saya sukses. Dia sudah meninggalkan masjid. Tengok kiri-kanan, dia benar-benar sudah lenyap rupanya. Kira-kira 20 menit berlalu. Setelah bacaan Qur'an, saya langsung ke kantin. Sambil berjalan, saya merasa menang telak, karena makan siang kali ini, tidak ada yang mengganggu. Masih tersisa 1 jam untuk sekedar mengisi perut.




Alangkah terkejutnya. Ternyata dia menunggu saya di kantin. Sendirian. Dengan nada agak kesal, dia memaksa saya untuk makan siang bersama. Pastinya semua bill makanan dia yang keluarkan dompetnya. Saya tidak bisa berkutik lagi. Sambil menyantap hidangan, hati saya terus terusik. Rupanya, kalau sudah rezeki kemana pergi pasti mengikuti. Walau kita sekuat tenaga menghindari.


Allah Swt Maha pemberi Rezeki. Maha Rozzak. Lewat bos besar, pemilik perusahaan, rezeki berupa makanan lezat mengalir dari hamba Allah yang satu ini. Walaupun tanpa diminta, walau saya lupa berdo'a untuk mendapatkan makanan.


Wallahu a’lam bi ash-shawab.


Sunday 5 January 2014

PERBEDAAN DI ANTARA SAHABAT NABI SAW

Tidak ada satu pun seorang kiayi, yang mampu menandingi keimanan para wali. Tidak ada satu pun wali yang mampu menandingi iman para sahabat-sahabat nabi. Para sahabat Nabi bergelar dengan Radiayallahu Ahhum. Artinya mereka diridhoi Allah Swt. Dalam Surat al-Insan (8-10), perbuatan mereka diabadikan, dipuji karena kemurahan hati untuk memberi makan secara ikhlas. Sedangkan para ulama kekinian, tidak ada satu pun yang dipuji-puji keimanannya.

Amal-amal baik para sahabat, juga terlihat pada Surat al-Fath, ayat terakhir. Dikuatkan dengan wa alladziina maahu (orang yang bersamanya)—yang dimaksud adalah sahabat-sahabat Nabi pada waktu itu. Watak, tabiat, dan karakter umum mereka dikatakan Qur’an, “Mereka adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” Ketika ayat ini dijelaskan Imam Malik, maka ia berkata,” Barangsiapa yang menghina sahabat nabi, maka Ia kafir.” Kata-kata Imam Malik tadi, dikuatkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya terkait surat Al-fath.


Bayangkan, bahkan Umar bi Khattab ra, telah terlihat bidadari-nya yang pemalu dan hitam manis, jawab Jibril ketika Nabi bertanya masalah bidadari unik dari yang lain, saat isra’ mi’raj. Bilal, suara terumpah (sejenis sandal) sudah terdengar di surga ketika ia belum meninggal, karena shalat tahiyat al-masjid. Maka, apakah ada ulama kekinian yang pernah mendapat jaminan masuk surga? Sekelas Abdul Qadir Jaelani pun tidak pernah ada yang menjamin ia masuk surga, terlebih soal jaminan bidadari.


Maka, alangkah perlu diluruskan seorang ulama, yang pernah mengatakan bahwa Aisyah r.ah, istri Rasulallah Saw, dengan melecehkan gelar menjadi al-himar (keledai). Padahal panggilan manja Rasul Saw kepada Aisyah r.ah adalah al-hamro (kemerah-merahan). Karena bencinya pada Aisyah r.ah sehingga ia tidak sadar telah membenci Rasulallah Saw, yang memilih perempuan itu tetap menjadi istri hingga wafat beliau.

Para sahabat merupakan saksi sejarah tegaknya Islam. Lewat pengorbanan mereka pada periode awal masuknya Islam, hingga kini masih dapat nikmat-nya mengenal hidayah, memeluk Islam. Mereka juga menyaksikan Qur’an turun secara berangsur-angsur. Mereka juga yang mengumpulkan Qur’an, hingga masih dapat terlihat mushaf-nya dibaca hingga sekarang. Apakah pantas, jika hanya tujuan politis saja nama seorang sahabat dinistakan? Apakah ia, lebih tinggi kemuliaan iman, ilmu, dan pengorbanan di jalan Allah, melebihi sahabat yang mereka hina, melebihi assabiquun al-awwalun yang mereka caci?

Menyikapi perbedaan di antara para sahabat, bukan berarti mereka patut dikafirkan satu dengan yang lain. Jangankan hanya seorang ulama, seorang sahabat Nabi, seorang Nabi Musa as saja pernah bersalah. Nabi Musa as pernah membunuh seorang yang ia benci. Nabi Adam sedih tidak bisa menolong salah seorang anaknya, Nabi Nuh juga sama, Nabi Ibrahim tidak bisa membantu ayahnya. Namun, ini bukan berarti mereka orang-orang buruk. Nabi-nabi tersebut telah mendapat wahyu, yang pastinya mereka dikatakan sebagai orang-orang soleh. Perbedaan pendapat di kalangan mereka, ketidakmampuan mereka menolong yang lain, adalah sifat manusiawi yang patut dimaklumi. Tentu, hal ini bukan berarti menjadikan “kultus individu” kepada seseorang. Tujuan dakwah Islam para Nabi-nabi terdahulu, untuk mengajak pada Allah, bukan untuk memuliakan diri sendiri untuk “dikultus,” keturunan, atau sekedar kelompok mereka saja.

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik