... DAKWAH > untuk Kemajuan diri dan Ummat I Qur'an > jantungnya Surat Yaasin I Masjid > jantungnya masyarakat Islam I Shalat berjamaah > jantungnya masjid I Silaturahmi > jantungnya umat Islam I Dakwah > jantungnya agama I Pengorbanan > jantungnya dakwah I Musyawarah > jantungnya pengorbanan I Sami'na wa atha'na > jantungnya musyawarah I Dakwah > maksud hidup I Hidup > dakwah I Dakwah > sampai mati I Mati > dalam dakwah I La ilaaha illallah muhammadur rasulallah ....

Saturday 18 April 2015

Al-Hikmah As-Syuhada

Rombongan jamaah gerak 1 tahun sudah sampai di halaqah Kodja. Ketika hari pertama di al-Hikmah, suasana dakwah memanasi wilayah Semper. Tempat maqami kami seakan tidak siap. What ever. Akhirnya tetap bandel, meski sudah ada orang tempatan yang menguji kesabaran dan keikhlasan kami, amir rombongan tetap bertahan di situ. Amir Darwis, Sang jumidar tadi pagi sampai turun tangan menengahi masalah kehadiran jamaah. Saat wajahku pagi tadi hadir di sana, bapak tua itu langsung cerah. Allah Swt yang kuasa atur segalanya.

Hari pertama jaulah ini, taqrir diisi oleh jamaah dari Sukabumi yang keluar dari Kebon jeruk. Barisan depan, diisi oleh anak-anak umuran SD. Kira-kira 13 orang. Aku hanya berjejalan di antara gelak tawa bebas anak-anak itu. Petugas taqrir terus melanjutkan dengan gayanya yang kocak. Seakan anak-anak itu, terhibur dengan dongeng televisi. Namun, ketika ditanya apakah mereka sudah shalat Asar? Ternyata belum. Semuanya tunjuk tangan, kalau belum sholat. Astagfirullah.. Padahal 15 menit lagi Maghrib datang menyapa. Aku hampir sakit perut melihat mereka langsung sholat Ashar saat itu juga.

Seusai jaulah, aku langsung lompat ke motor Udin. Kami berdua langsung ke As-Syuhada untuk jaulah dua. Beberapa rombongan gabungan dari at-Taqwa keluar di tempat itu. Maghrib malah diisi dengan kargozari seorang ahbab yang baru saja pulang belajar dari Afsel. Menarik. 1,8 tahun ia habiskan di sana untuk belajar tahfidz. Niatnya setelah IPB, ia akan kembali ke negeri yang minoritas Islam di sana.

Selesai kargozari, masih tersisa sekitar 20 menit, kami kembali lagi ke al-Hikmah. Masih banyak program yang perlu di-nusrohi. Alhamdulillah. Katanya saat bayan Maghrib tak satu pun orang tempatan yang ada di sana. Malam ini jamaah gerak akan lebih lama, lebih panjang untuk sholat malam. Minta ampun atas segala amal, dan kekeliruan dalam kerja dakwah ini.

Saat tangan ini menari di atas keyboard, mudah-mudahan 13 orang anak-anak tadi, jadi da’i semua. Walau sholat Asharnya sudah di tepi pergantian waktu. Mudah-mudah, 13 sifat da’i yang tadi di-mudzakarah-kan, bisa lebih diingat dan bisa diwujudkan. Kabulkan ya Allah.

Al-Hikmah As-Syuhada. Kedua benteng terakhir di ujung Semper.
      
Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Friday 10 April 2015

Sertifikasi dakwah, perlukah ?

Dakwah dalam Islam, menjadi bagian yang sangat penting. Karena begitu pentingnya masalah ini, maka Allah Swt mengutus para nabi, guna memperbaiki agama. Jumlah Nabi yang diutus pun ratusan ribu jumlahnya. Mereka bertebaran mengemban tugas dakwah, guna memperbaiki agama umat manusia. Para nabi, sekalipun banyak yang berkontribusi pada peradaban manusia, mereka lebih fokus urusan agama. Sebab, urusan yang bersifat ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya kurang penting. Para Nabi, sekalipun ada yang menjadi raja, tugas pokok mereka adalah berdakwah. Mereka menyampaikan kabar gembira—misalnya tentang balasan bagi orang-orang yang beriman, dan peringatan.

Kehadiran nabi pada setiap masa, sudah ditutup oleh Nabi Muhammad Saw. Dengan begitu, kerja kenabian diteruskan oleh umatnya, umat Nabi Muhammad Saw. Setiap individu memiliki kewajiban sebagaimana kewajiban shalat. Dalam Qur’an dinyatakan dengan jelas, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. (Qs. Ali Imran : 110). Ayat ini berisikan penegasan kalau tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar, bukan hanya terbatas bagi ulama saja. Orang awam, tidak terlalu paham dengan agama, juga menjadi sasaran dari tugas dakwah ini. Tugas dakwah adalah warisan. Siapa pun yang mengaku dirinya seorang muslim, ada tugas dakwah yang perlu ditunaikan.

Menurut Kiayi Lutfi, warisan dalam Islam wajib diberikan kepada yang berhak. Kecuali jika membunuh ahli waris atau murtad, maka hukumnya batal. Ia contohkan ada seorang muslim yang dipenjara karena melakukan kriminal. Saudaranya berjumlah 9 orang yang semuanya laki-laki. Orang tuanya meninggalkan harta senilai 10 Miliar. Maka tiap orang berhak mendapat warisan sebanyaknya 1 miliar, meski pun salah seorang dari mereka masih ada yang mendekam dipenjara. Begitu pula dengan usaha dakwah. Siapa pun orangnya, apa pun latar belakangnya, jika ummat Nabi Saw, maka berhak atas dakwah, berhak atas warisan para nabi.

Dalam penerimaan tugas dakwah, bagi ummat Nabi Muhammad Saw, tidak semua orang mau menerimanya. Hanya orang-orang yang terpanggil saja seperti dalam surat ali-Imran ayat 104. “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”


Dakwah juga merupakan sarana perbaikan diri. Media dakwah manusia, sedangkan sasaran dakwah adalah perbaikan diri sendiri. Makin hebat dakwahnya, maka makin baik akhlaknya. Makin hebat amalnya, juga makin hebat istighfarnya kepada Allah Swt.

Sebagian pendakwah, ada yang terlalu bersemangat dalam menjalankan tugasnya. Semangat ini diwarnai dengan canda tawa yang berlebihan. Bahkan ada juga yang mencaci-maki orang lain, hingga mereka tidak menghargai nama baik seorang muslim. Inilah yang barangkali menjadi acuan kalau para pendakwah, harus memiliki izin dari lembaga yang berwenang, semacam sertifikasi. Setiap pendakwah harus menghafal beberapa surat dalam Qur’an, hadis, dan ilmu-ilmu fiqih, dan persyaratan lainnya. Namun, dari sisi lain, jika pendakwah tadi tidak lulus sertifikasi, maka apakah ia tidak boleh berdakwah, hingga ia bersertifikasi?

Dakwah adalah kerja kenabian. Bukan kerja biasa. Bukan profesi yang perlu sertifikasi. Dakwah ini perlu pengorbanan harta, waktu, tenaga, dan fikiran. Karena kerja kenabian, maka tidak patut jika mendapatkan upah apa pun, kecuali dari Allah Swt saja. Allah yang ‘gunakan’ seseorang sebagai penyebar agama, dan jika ia berkehendak, maka orang yang dimaksud juga dapat dibebastugaskan dari tugas dakwah. Naudzubillah.

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik


Monday 6 April 2015

Jadilah pelengkapku

Dengan rasa rendah diri, tahaddus binni’mah, aku hanya ingin cerita, kalau potensi kita bisa dilesatkan hingga luar batas. Kuncinya berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi rintangan, dan tetap menjadikan do’a sebagai senjata utama.

Saat ini, aku berhasrat untuk meneguhkan dakwah dengan memperkaya hafalan Qur’an. Niat juga ke negeri jauh. Hasrat itu sama seperti ketika Nabi Musa As harus menghadapi Fir’aun. Ia dibantu istrinya, Shafura. Meski bukan dengan terjun secara langsung. Peran Shafura membuat semakin yakin apa yang dibawa Nabi Musa As soal risalah kenabian adalah benar.

Alhamdulillah.. seperti jaminan-Nya, “barang siapa yang bersungguh-sungguh dalam mengejar hidayah, maka akan kami tunjukkan jalan-jalan kami.” Aku ingin sekali nambah hafalan, seperti obsesiku yang pertama tadi. Awalnya, kupikir, kalau di Jakarta rasanya sukar. Hampir semua orang tahu, bagaimana kesibukan Jakarta setiap harinya.  One day, aku Jaulah dua di mushallah As-Syuhada. Mushallah kecil yang kalau hujan, tinggi airnya pasti se-lutut. Kira-kira 14 tahun lalu aku juga pernah taklim di tempat ini. Ini yang ketiga kalinya jaulah dua di mushallah yang berdekatan dengan rumah ustad Nur Ali. Magrib menyapa, teman-teman yang lain dari al-Hikmah masih belum juga terlihat. Ternyata memang benar tidak hadir. Jaulah umumi dibatalkan.

Selepas magrib, aku masih bertahan di tempat itu. Ada sekitar 5 orang anak-anak yang membuka Qur’an berdiam di sana. Mereka mengaji dengan ustad Nur ali. Setelah kuperhatikan 2 dari 5 orang itu, ternyata anak ustad. Aku memang orang baru di mata mereka. Anak-anak itu tampak kaku. Mungkin dalam benaknya, ia meragukan kalau tampangku yang asing. “Kok orang cina ngajarin kita ngaji.” Setelah ustad menyuruh anak-anaknya mau ngaji padaku, wajahku jadi tambah bersinar…

Salah seorang dari mereka maju menyodorkan Qur’an. Dua orang anak lainnya yang sudah agak besar, malah tampak tak bersahabat.
“Jika kamu nggak mau ngaji, harus setoran!!,” tawarku pada dua anak itu.
Mereka bingung. Semakin diam. Mulut semakin rapat terkunci.
“Kalau nggak mau setoran, saya aja yang setoran,” ucapku lagi.
“Kita mulai dari al-Baqarah!,” ajakku lagi.

Aku pun mulai menyetor hafalan pada mereka. Beberapa di antaranya, ada yang menyimak sambil membuka Qur’an. Ada juga yang hanya menyimak saja. Setelah kira-kira 60 ayat, mereka inginkan aku berhenti. Aku berhenti. Salah seorang anak, langsung gantian yang menyetor. Dari ayat pertama hingga 50-an. Satu demi satu akhirnya anak-anak itu mau setoran. Mereka mulai mencair. Zidan, Ni’am, Yusuf, dan kawan-kawan selesai saat adzan berkumandang. Batinku masih sangat bersyukur kalau anak-anak ini yang turut membantu hafalanku bertambah. Untuk beberapa waktu, jika tidak jaulah, mereka sahabat kecilku para penghafal Qur’an. 

Satu jalan visiku untuk menghafal sudah terbuka. Jalan dakwah, istriku masih kupersiapkan agar bisa sama menopang. Minimal bisa keluar masturah 15 hari. Aku butuh asisten, partner yang bisa men-support untuk membantu istriku ini. Ukhti.. dirimu lah yang barangkali yang paling pantas. Bermusyawarahlah dengan Allah Swt, seperti Zainab binti Jahsy, ketika dilamar oleh Rasulallah Saw. Menjadi yang kedua, tampaknya butuh keikhlasan yang tinggi. Apalagi kuminta minimal 2 juz sebagai bahan yang melegakan hatiku. Hanya iman yang kokoh yang mampu setulus para sahabiyah. Jadilah pelengkapku. Cintai aku hanya karena Allah..

Wallahu a’lam bi ash-shawab.



Friday 3 April 2015

Kesuksesan di antara Dua Cinta

Seorang Chairul tanjung, SBY, Jokowi, Abraham samad, dan beberapa orang sukses lainnya, punya satu kesamaan. Mereka punya istri dan ibu yang ‘akur,’ dengan satu visi misi yang sama. Istri ingin ‘membesarkan’ suami, sedangkan ibunya ingin ‘membesarkan’ anak. Orang-orang besar ini mampu menyatukan kepentingan istri tanpa meninggalkan baktinya pada ibu. Berbakti pada ibu, tapi tetap menghargai arti pentingnya istri. Padahal, jarang banget istri dan ibu mertua bisa sama-sama satu langkah.

Ketika Abraham samad dituding melakukan selingkuh, dengan berbekal sebuah photo, istri Abraham malah tidak percaya. Begitu pula, ketika ada yang manas-manasin pada ibunda Abraham. Ibunya malah lebih tidak percaya kalau anaknya se-bejat itu. Rupanya lagi-lagi benarlah ungkapan kalau dibalik laki-laki hebat, selalu ada perempuan-perempuan tangguh. Perempuan yang sholihah, ikhlas dalam beramal.

Begitu pula amal dakwah yang sedang aku evaluasi sekarang. Setidaknya sejak tahun 1999, aku pertama kali keluar 3 hari. Saat itu usiaku kira-kira baru 17 tahun.  Waktu itu, ibunda sangat khawatir jika aku main ke markaz untuk I’tikaf. Katanya khawatir ikut aliran sesat. Tapi beliau tidak khawatir jika jalan-jalan ke luar kota. Akhirnya aku bersama 2 orang temanku ke Bandung. Untuk keluar 3 hari.

Setelah pulang 3 hari langsung ngejos. Memang, pada hari kedua saja aku sudah pakai baju gamis full juga pakai imamah di kepala. Mirip banget kayak waliyullah. Ini karena aku sudah ngaji kalong (mondok) sejak kelas 3 SD. Kadangkala ibunda sangat senang melihatku dengan tampilan seperti itu. Namun kadang ia juga sedikit bingung. Apalagi kalau shalat sunnah rajin banget. Saking rajinnya lupa kalau sehabis ashar ga boleh sholat sunnah.

Rupanya amal maqomi yang bisa kujalankan hanya taklim rumah. Jaulah umumi belum bisa karena masih sendirian. Lalu keluar nisab 3 hari juga harus menunggu liburan sekolah. Lagi-lagi kalau ingin keluar 3 hari harus ke kota lain, dengan alasan jalan-jalan pada ibunda. Jalan-jalan untuk memperbaiki diri. Yup, akhirnya aku bisa keluar 3 hari lagi, tapi kali ini di Bogor (belakang IPB). Inilah dakwah. Jika ibunda belum faham betul soal usaha perbaikan diri ini, maka untuk keluar 3 hari saja harus keluar air mata banyak-banyak. Mengemis pada Allah Swt. 

Memang, ada sebuah hadis yang aku hafal betul dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulallah Saw bersabda dalam mafhumnya, kalau amalan yang paling disukai Allah Swt, yakni shalat tepat pada waktunya, berbakti pada orang tua, lalu jihad fi sabilillah. Ketika guru kami menerangkan hadis ini, bahwa ketaaatan soal amalan ini berbentuk tartib. Artinya derajat yang paling tinggi yakni sholat di awal waktu, lalu derajat berbakti pada orang menempati yang kedua. Jihad menjadi derajat terendah dari semua itu. Singkatnya jika aku ingin keluar 3 hari, tidak boleh dilakukan jika ibunda melarang.

Tidak putus di situ, akhirnya taklim rumah tetap kujalankan. Hari demi hari, bulan demi bulan, hingga beberapa tahun, akhirnya ada perubahan. Ibunda merasa apa yang kuyakini bukan masalah sama sekali. Beberapa belas tahun kemudian, aku diperbolehkan untuk tetap nisab 3 hari seperti tahun-tahun ini. Namun begitu, aku harus minta ijin sama amir, untuk pulang 1-2 jam hanya sekedar hidmat di rumah. Bantu-bantu bersihkan rumah semampuku. Lalu kembali lagi. Karena tampaknya jika 1 hari saja tidak terlihat di rumah, bunda cemas. Sayap pertamaku pada bunda, bisa menopang dakwah berjalan. But, hingga sekarang aku belum dapat hingga lebih jauh lagi, lebih lama lagi.

Lalu sayap kedua. Istri. Sayap ini berada jauh di sana. Hampir beberapa tahun, ia tidak di rumah besertaku. Ia juga tidak pernah hadir dalam taklim rumah pagi hari sebelum berangkat ke kantor. Aku merasa dukungan dari sayap kedua hampir tidak ada. Ada suatu alasan mengapa ia mau di sini lagi. Akhirnya kutawarkan agar ada perempuan lain yang bisa tinggal serumah menjadi saudarinya. Aku akan berusaha bersikap adil dalam pembagian nafkah. Adil bukan berarti sama rata. Aku hanya menuntut agar calonku minimal hafal dua juz Qur’an. Tidak muluk-muluk soal rupa dan usia. Lebih bahagia lagi, kalau ia juga sudah pernah keluar masturah. Namun, ia belum mencarikan istri untuk suaminya dengan model kayak gini.

Semua itu kulakukan agar dua sayap mampu bisa mengantarkanku terbang lebih jauh. Seperti orang-orang sukses yang awal tulisan ini kusebutkan. Sukses dengan dukungan di antara dua cinta. Bacalah suratku jika itu dirimu.

Cintai aku karena Allah saja..

Wallahu a’lam bi ash-shawab.


Thursday 2 April 2015

MAHA PENJAGA

Tiada yang sulit bagi Allah Swt untuk menciptakan siang dan malam. Bagi Allah Swt menciptakan gajah, semut, binatang yang kecil atau besar sama saja. Menciptakan langit yang tanpa tiang, dipenuhi benda-benda angkasa, membuat langit hingga tak berujung / memiliki batas, mudah saja. Tidak perlu bantuan siapa pun. Menciptakan yang demikian, juga menjaganya sama sekali sangat mudah bagi Allah Swt.

Sekali pun Allah Swt menciptakan malaikat, ini hanya ingin membuktikan kalau Allah Swt memberikan tugas kepada salah satu jenis makhluknya untuk mengurusi makhluk yang lain. Dapat dibayangkan, ketika seorang muslim, sebelum keluar rumah sambil berdo’a, “Ya Allah. Jagalah rumah (ku) ini.” Lalu, apakah Allah Swt akan turun dari arasy, dan menjaga rumah seorang muslim tersebut layaknya satpam atau tenaga security? Tentu tidak. Sebab, jika barang dari rumah orang tersebut, katakanlah hilang karena ada pencuri, dengan mudahnya seorang muslim tadi menuduh Allah Swt tidak becus menjaga rumahnya.

Contoh lain misalnya ada seorang Muslim yang hendak tidur. Lalu ia berdoa pada Allah Swt agar dijaga dan dijauhkan dari kematian mendadak. Allah Swt pasti akan mengirimkan malaikat sampai ia terbangun. Apakah Allah Swt akan turun dari arasy, lalu duduk di sebelah Anda, sampai Anda terbangun? Setelah terbangun lalu mempertanyakan dimana Allah Swt ketika Anda terbangun tidak nampak sama sekali? Jika memang demikian, yang Anda pikirkan, maka sama saja Anda menyuruh Allah Swt layaknya pembantu atau penjaga yang setiap waktu bisa diperintah karena digaji. 

Adanya Malaikat, berarti adanya bentuk dari yang lebih tinggi dari Malaikat yang bisa memerintahkan, sehingga Allah Swt tidak dianggap sebagai tenaga security bagi rumah anda, sebagai baby sister yang yang mengawasi anak-anak Anda ketika tidur.

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaih
  


Kerja Keras, kerja Cerdas, dan Kerja Rodi; Sebuah Renungan untuk Beramal

Menurut ulama jumhur, syarat diterimanya sebuah amal ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ikhlas. Hanya semata-mata karena Allah Swt. Kedua, mengikuti tuntunan dari Nabi Saw dan para sahabat. Terakhir, sesuai dengan syara’. Artinya syarat dan rukun ditunaikan secara baik dan benar. 

Untuk yang pertama dan kedua, sudah sangat jelas, karena sering disampaikan oleh para mubaligh. Sementara yang terakhir, yang ketiga, bahwa sebuah amaliah, tidak bisa disandarkan dengan kemauan diri sendiri. Amaliah harus memenuhi kaidah sunnah—lebih spesifiknya syarat dan rukun harus dipenuhi. Misalnya dalam sujud, hanya membaca tasbih, tidak boleh membaca ayat Qur’an dalam sujud. Meskipun membaca Qur’an dipandang sebuah kebaikan, namun menurut syara’ dipandang salah, maka menjadi keliru. Ayat Qur’an hanya boleh dibaca saat berdiri saja. 

Nah, dari itu dalam konsep ibadah, ada istilah “kerja keras”, “kerja cerdas”, dan “kerja rodi” (kerja sia-sia). Kerja keras, misalnya seseorang yang melakukan ibadah hanya yang fardu-fardu saja. Sedangkan sunnah-sunnah yang ringan, yang mengikuti ibadah yang dikerjakan, justru diremehkan. Istilah kerja keras ini, juga seperti orang yang hanya mengandalkan ibadah saja untuk sekedar ‘menggugurkan kewajiban.’ Misalnya orang yang shalat fardu lebih memilih sendirian. Padahal, jika ia sedikit bersabar, menunggu orang lain agar bisa berjamaah—atau datang ke masjid untuk berjamah, pahalanya bisa berlipat hingga 25 atau 27 derajat. Bahkan pahalanya dapat mencapai 70 derajat, jika adab dan sunnah benar-benar diperhatikan.

“Kerja Cerdas”

Orang yang shalat berjamaah, dikatakan sebagai “kerja cerdas” dalam ibadah. Beramal, dengan derajat yang lebih tinggi karena kesabaran dan ilmunya. Contoh lain, adalah istighfar. Membaca sayyidul istighfar, bahkan bisa lebih tinggi derajatnya, daripada sekedar istighfar yang biasa-biasa saja meskipun dari segi jumlahnya terhitung sangat banyak. Kerja cerdas ini, juga telah banyak dilakukan para ulama. Mereka berfikir, kalau hanya mengandalkan amaliah infirodi (amal yang dilakukan serdiri), maka hanya sebatas kemampuan dan kesanggupan saja. Ketika pelakunya meninggal, maka ganjarannya pun terhenti sampai di situ saja. Para ulama, sengaja memperbanyak keturunan dan rajin menyebarkan ilmu agama yang ia ketahui. Sebab “kecerdasan mereka” dalam beramal, sesuai dengan pemahaman, bahwa ketika anak Adam meninggal dunia, terputus semua amalnya, kecuali tiga perkara; shadaqah jariyah (sedekah yang mengalir) misalnya wakaf, anak sholeh yang mendo’akan orang tua, serta ilmu yang berguna (ilmu yang terus diamalkan orang lain). Para alim ulama, memasukkan seorang da’i (pendakwah agama) juga termasuk ke dalam golongan yang terakhir tadi, ilmu yang berguna. Sebab, catatan amal para da’i masih terus terbuka meski jasadnya sudah hancur, sementara orang yang mau diajak masih hidup dan terus mengamalkan ajakan kebaikannya. 

Dengan “kerja cerdas” ini, maka seorang anak Adam ketika dihisab amalnya akan kebingungan. Bingung, karena ada beberapa amal yang tidak diterima—mungkin karena kurang ikhlas atau sebab lain, tapi ada amal-amal yang ia sendiri belum pernah lakukan, namun malah mendapat balasan pahala yang berlipat-lipat. Misalnya orang tadi belum pernah pergi haji, akan tetapi pahala hajinya bisa beratus juta kali haji mabrur kala dihisab. Ini karena orang tadi semasa hidupnya sering menyebarkan ilmunya tentang haji, lalu diamalkan oleh murid-muridnya hingga ratusan juta orang.

Kerja cerdas dalam beramal ini juga bisa dikelompokkan pada para dermawan yang memberikan donasi pendidikan untuk para pelajar. Memberikan bantuan untuk ibadah haji atau umrah, meski ia barangkali belum pernah ke Makkah. Orang-orang ini termasuk dikelompokkan sebagai shadaqah jariyah. Bukan hanya sebatas itu, Konsep kerja cerdas ini juga dapat disamakan kepada para da’i yang rajin menulis kitab, ceramah, nasehat dalam bentuk tertulis. Ketika pembaca masih dapat merasakan manfaat dari tulisan-tulisannya, pahalanya terus mengalir. Baik ia masih hidup, atau sudah meninggal. Mereka menebar amal dengan konsep “kerja cerdas” ala “passive income.”

Allah Swt berfirman dalam Surat al-Ankabut ayat 7; “Dan orang-orang yang beriman dan beramal saleh, benar-benar akan Kami hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka dan benar-benar akan Kami beri mereka balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.”

“Kerja Rodi”

Istilah ‘kerja rodi’ adalah istilah orang yang melakukan amal, namun hanya sia-sia. Amal yang dikerjakan dengan susah payah, malah musnah tanpa bekas. Bahkan justru mendapatkan laknat. Hal ini, karena melanggar tiga syarat diterima amalan yang pada awal tadi telah disebut; ikhlas, ada contoh dari Nabi dan para sahabat, serta memenuhi syara’.

Sementara amaliah dapat menjadi “kerja rodi” karena tidak sesuai dengan syara’ pada bagian awal sudah dicontohkan soal bacaan Qur’an yang tidak boleh dilakukan saat sujud. Contoh lain misalnya, waktu sholat Magrib katakanlah saat itu jatuh pada pukul 6 sore di Indonesia. Maka jika waktu sholat di Negara lain atau di daerah lain, belum tentu jam 6 sore. Bisa jadi di Negara tetangga, justru lebih maju atau malah lebih mundur. Karena menurut syara’ waktu sholat sudah ditentukan menurut peredaran bulan—sesuai dengan ilmu falak. Bukan hanya sebatas kebiasaan yang sifatnya tetap. Syarat sah sholat fardhu, salah satunya harus sudah masuk waktu sholat, kecuali jamak takdim. 

Orang yang bersedekah, lalu mengungkit-ungkit pemberian, juga dikatakan sebagai “kerja rodi,” misalnya seperti dalam Surat al-Baqarah ayat 263, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” Inilah salah satu contoh amaliah menjadi “kerja rodi’ karena kurang ikhlas.

Amal ibadah orang murtad (keluar dari agama Islam), juga dikatakan sebagai “kerja rodi.” Sebab, bagaimana pun hebatnya kebaikan yang mereka lakukan semasa di dunia, karena menukar akidah, amalnya akan sia-sia. Hak-hak dalam seperti mendapatkan warisan juga batal. Seperti dalam firman allah Swt dalam Surat al-Baqarah ayat 217: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. “ 

Mudah-mudahan Allah Swt selalu memberikan kekuatan berupa hidayah sehingga amal-amal yang kita lakukan dapat diterima. Aaamiiieenn.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaih



Surat Untuk Calon Istriku

Sayang..
Aku bukan malaikat. Dan aku juga sadar, kamu juga bukan. Aku hanya menggoreskan beberapa kata dengan keyboard kesayanganku ini, untuk menjemputmu. Mungkin kamu di sana sedang membaca blog ku ini, lalu kamu mengetikkan beberapa pesan, agar aku segera datang melamarmu. Membawakan sebuah kado berupa pernikahan, yang akan menyatukan visi-misi hidup kita yang hampir sejalan. Meraih ridho ilahi melalui indahnya mahligai rumah tangga yang berjalan di atas sunnah, dibawah keputusan Allah Swt yang tertulis dalam kitab-Nya. Saling melengkapi agar aku dan kamu yang bukan malaikat, juga bisa taat kepada Allah Swt.

Sayangku..
Aku akan menuliskan beberapa kata yang menggambarkan bagaimana sepotong kisah kehidupanku. Kisah ini bukan seperti ahsanal qoshos seperti dalam Surat Yusuf ayat ketiga. Kisah ini hanya seorang manusia biasa yang memilih jalan dakwah sebagai wakaf umur, yang artinya seumur hidup ini akan di-wakafkan untuk kegiatan dakwah dan tabligh, lalu menjadikan blog sebagai ‘ikhtiar’ guna mencarimu.

Cantik.. Alhamdulillah.. aku seorang sarjana. Dengan latar belakang pendidikan agama. Namun, dalam beberapa tahun ini, aku bekerja di EMKL. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kargo, ekspedisi—sejenis DHL. Barangkali Allah Swt, mengabulkan niatku untuk menggerakkan dakwah di mana pun aku berada. Termasuk di kantor, aku dengan sabar merintis dakwah. Tiap hari Senin ba’da sholat dzuhur ada ta’lim fadhilah amal. Kadang juga aku isi dengan bayan, lain waktu juga ada mudzakarah adab-adab. Aku juga berusaha menghidupkan UMM, walau belum maksimal.

Calon istriku.. ijinkan aku bercerita sedikit soal nisab tiga hari, bulan lalu yang kutunaikan bersama teman-teman halaqah Kodja-Jakut. Cerita ini yang menjadi alasan mengapa aku harus bersusah-payah menemukanmu. Mudah-mudahan kargozariku ini tidak mengurangi pahala nisabku. Di sana aku mendapat tugas menjadi petugas hidmat. Dari hari pertama hingga bayan wabsy, kuisi dengan memperbanyak hidmat saja. Ada yang menarik, ketika aku bertugas.  Aku bersama syech Sugeng menjadi petugas hidmat. Sugeng membawa anak lelakinya yang berusia baru empat tahun. Alangkah lucunya anak itu. Ketika sedang ta’lim pagi, ia tetap menyimak bersama yang lain. Kadang ia berlari ke sana-sini, lalu kembali duduk ikutan ta’lim. Anak itu juga jarang sekali menangis, meski ia harus tidur di lantai beralaskan kain. Seperti yang lain, kadang kala ia juga tertidur dalam ta’lim 2.5 jam dipangkuan ayahnya. Ada beberapa mainan yang tidak terlalu banyak untuk sedikit menghiburnya. Menyemangati agar tetap bersama ayahnya hingga akhir.

Ketika aku bertanya soal ibunya, bahkan Sugeng bilang kalau istrinya sedang hamil 4 bulan. Subhanallah.. tapi ia biarkan agar suami dan anak lelaki kesayangannya ikut tunaikan nisab 3 hari. Istri Sugeng, minggu kemarin sudah keluar masturah 15 hari. Sedangkan Sugeng sendiri tidak bercerita banyak soal dirinya. Namun, dari ini kusimpulkan bahwa kegiatan dakwah harus didukung masturoh. Layaknya burung yang terbang dengan kedua sayap. Bukan hanya dengan salah satunya saja. Istri ustad Sidiq juga begitu. Ia bisa lebih tangguh dalam dakwah karena istrinya sering keluar masturah. Sayangku.. Singkatnya kedua ahbab ini yang menjadi inspirasi untuk memasangkan cincin di jemarimu.

Bidadariku.. aku sering diandalkan halaqah dalam takaza. Meski aku bukan orang lama, bukan juga da’i senior, namun hampir tiap minggu aku menjadi petugas bayan atau taqrir saat jaulah. Sayangnya belum pernah ada yang mempercayakanku soal bayan masturah. Ini karena kelemahanku sendiri yang masih minim pengetahuan soal dakwah. Sehingga lagi-lagi aku memberanikan diri, agar dirimu yang menjadi pelengkap kekuranganku. Pada tulisan berikutnya, aku akan berusaha menuliskan bayan dan tentunya kargozari.

Salam kenal,

Hamba Allah yang dhaif

Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaih