... DAKWAH > untuk Kemajuan diri dan Ummat I Qur'an > jantungnya Surat Yaasin I Masjid > jantungnya masyarakat Islam I Shalat berjamaah > jantungnya masjid I Silaturahmi > jantungnya umat Islam I Dakwah > jantungnya agama I Pengorbanan > jantungnya dakwah I Musyawarah > jantungnya pengorbanan I Sami'na wa atha'na > jantungnya musyawarah I Dakwah > maksud hidup I Hidup > dakwah I Dakwah > sampai mati I Mati > dalam dakwah I La ilaaha illallah muhammadur rasulallah ....

Tuesday 16 June 2015

Umat Nabi, Umat Dakwah

Ketika masa jahiliah, peradaban bangsa lain sudah ada. India, China, Yunani, semuanya dikenal memiliki sejarah bangsa-bangsa kuno. Namun, dari kesemuanya itu, Romawi dan Persia yang masih menjadi adidaya. Persia terkenal dengan tentara bergajahnya. Romawi dengan kekuatan militer tempur yang tidak kalah mumpuni. Lalu, mengapa Islam harus melirik ke Arab? Bangsa yang hidup di tengah tanah yang tandus, dengan Mekkah sebagai tempat suci yang lebih dari 300 berhala terbuat dari kayu dan bebatuan.  Jawabannya karena potensi. 

Makkah sangat potensial untuk membangun peradaban manusia yang taat pada Allah Swt. Sebelumnya, Ibrahim as sudah bersusah payah membangun wilayah itu. Ia bahkan meninggalkan Ismail as ke negeri jauh, demi dakwah, bukan demi nafkah. Dan setelah belasan tahun, Nabi Ibrahim as kembali ke Makkah. Bertemu dengan anaknya, Ismail as yang sudah remaja. Ibrahim as juga pernah berdo’a agar keturunannya juga dijadikan pemimpin. Tentu kepemimpinan di sini terkait dengan agama. Sehingga wajar, para mufassir mengatakan 11 keturunan Nabi Ibrahim as dijadikan para nabi. Nabi Muhammad Saw anak cucu Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail as. Allah Swt yang Maha Mengetahui, mengapa harus Nabi Muhammad Saw diturunkan di Makkah. Namun, Makkah sudah punya potensi besar karena pengorbanan para nabi sebelumnya. Bukan tempat baru dan asing.


Nabi Muhammad Saw, nabi pilihan. Nabi terakhir yang dimuliakan dengan diberikan keistimewaan. Salah satunya, dengan menjadikan umat Nabi Saw sebagai umat dakwah. Umat terdahulu, puncak ketaatan diraih dengan cara rahbaniyyah. Mengasingkan diri hanya untuk beribadah. Sehingga wajar, ada banyak kisah kesalehan umat terdahulu yang beribadah hingga ratusan tahun. Sujud berhari-hari, berzikir berbulan-bulan. Sementara umat Muhammad Saw, diberikan umur yang pendek. Diberikan keistimewaan dengan punya kesempatan yang sama dengan Nabi Saw, yakni berdakwah. Sebab, jika bersaing dengan lama dan banyaknya beribadah (rahbaniyyah), rasanya sangat tidak adil. Postur badan umat terdahulu juga lebih kekar. Arkeolog menyebut “raksaksa” untuk bahasa yang sederhana panggilan umat terdahulu. Dengan begitu, jika masih ada umat ini yang berfikir rahbaniyyah adalah cara memperbaiki diri guna mendekatkan diri pada Allah Swt, berarti masih mewarisi pola pikir lama dari umat sebelum Muhammad Saw. 


Model Dakwah


Sebagai umat Muhammad Saw, yang berhak atas warisan dakwah, ada banyak rupa model dakwah yang dijalankan. Ada yang langsung mengikuti cara para nabi, dan ada yang membuat modifikasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Model modifikasi misalnya, selalu memanfaatkan situasi dan keadaan lingkungan. Sunan Kalijaga yang memanfaatkan tabuhan, lirik-lirik, puisi, dan bentuk kesenangan masyarakat lainnya untuk meleburkan dakwah agar mudah diterima. Barangkali pemikiran ini, dakwah harus berbaur dengan peradaban masyarakat. Saat ini juga banyak media cetak, elektronik, maupun internet yang digunakan untuk berdakwah. Tujuannya sama, untuk mengingatkan manusia kepada agama. Mengajak kembali pada Allah Swt. 


Sementara itu, cara lama yang digunakan para nabi dan diteruskan para sahabat Nabi Saw, dengan langsung mendatangi umat. Menyampaikan pentingnya iman dan amal soleh melalui komunikasi verbal. Berkeliling dari rumah ke rumah, pintu ke pintu, dan halayak ramai demi tersiarnya agama. Cara dakwah seperti ini lebih mengena. Sebab obyek dakwah langsung merasakan manfaat dari dakwah (lebih humanis). Selain itu, subyek dakwah juga merasakan manfaat yang sama, yakni niat untuk islah diri (memperbaiki diri). Logika sederhananya, muazin yang mengumandangkan azan secara langsung, akan mempertebal imannya sendiri untuk shalat berjamaah. Pastilah muazin akan ikut sholat berjamaah, karena dia yang memanggil orang-orang untuk azan. Sangat ironi jika muazin setelah ber-azan di masjid lalu ia sendiri malah pulang untuk shalat di rumah. 


Dakwah dengan model lama, jika diterapkan dalam konteks kekinian, bukan tanpa masalah. Masalah yang bermunculan manakala yang ikut ambil bagian dari kerja ini, dilakukan oleh khalayak umum. Bukan hanya kalangan para ulama saja, orang awam pun turut serta dalam dakwah. Wajar. Jika dakwah hanya dipahami sebagai sekedar “penyampaian,” orang yang “menyampaikan” harus mumpuni dalam segala hal. Dari keilmuan dan kesalehan harus “sempurna.” Dirinya dahulu, baru orang lain lain diperbaiki. Pastinya yang paling pantas bukan lagi para ulama, tapi hanya para nabi. Namun, karena nabi sudah tidak diutus lagi, khalayak umum perlu turut ambil bagian dalam kerja dakwah. Tujuannya bukan sekedar penyampaian, tapi islah diri. Meskipun ada beberapa pemahaman, kalau nantinya Nabi Isa as dan Imam Mahdi akan diturunkan menjelang akhir zaman. Risalah kenabian sudah ditutup Nabi Muhammad Saw. Kedatangan mereka berdua hanya untuk membunuh Dajjal. Bukan membuat risalah yang baru dan kitab suci yang baru.  


Pewaris Dakwah


Banyak nada-nada sinis yang dilontarkan pada para da’i yang datang dari orang awam dengan model lama, mengikuti sunnah Nabi Saw dan para sahabatnya. Seakan mereka tersesat, menyesatkan dan membuat ajaran baru. Padahal, dahulu sikap yang sama juga dirasakan pada Nabi Isa as (sebagai tukang kayu), pada Nabi Muhammad Saw (penggembala domba). Mereka berdua seakan berkasta rendah, yang tidak pernah layak untuk menyampaikan ajaran dari Allah Swt. Kalau dahulu, yang menentang dakwah kebanyakan dari kaum musyrikin dan orang-orang kafir, saat ini justru yang mementang dakwah kebanyakan dari kalangan umat Islam sendiri. Motifnya beragam. Ada yang merasa dakwahnya tersaingi, terancam “ladang nafkahnya,” popularitasnya terjungkal, dsb. Lebih-lebih justru kebanyakan dari mereka kalangan ahli ilmu, ahli agama.


Para ahli ilmu banyak menilai kalau zaman ini telah banyak kerusakan yang diderita umat Islam. Mereka juga ingin memperbaiki keadaan. Tapi, cara yang mereka tempuh harus dengan modelnya. Harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu, barulah terjun ke medan dakwah. Bukan tanpa hasil, jika cara ini dilakukan. Sayangnya, jika harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu justru banyak yang enggan berdakwah. Lagi pula, saat ini kerusakan umat juga sudah merambah pada ahli ilmu. Segala bentuk kemaksiatan dan kejahatan, justru dilakukan lebih parah oleh orang yang di-klaim sebagai ahli ilmu. Apalagi dakwah adalah warisan kepada siapa pun yang merasa umat Nabi Muhammad Saw. Seyogyanya ahli ilmu, ahli agama menjadi barisan terdepan dalam dakwah. Terutama dengan dakwah cara lama, cara yang ditempuh nabi-nabi. Atau minimal, berbesar hati kepada cara orang lain berdakwah. Membantu memberikan arahan-arahan bagaimana seharusnya menutupi kekurangan dakwah yang sudah dijalankan. 


Jika mau dikaji lebih lanjut, para ahli ilmu yang menentang pewaris dakwah dengan mengajukan syarat ilmu sebagai pendakwah seperti model masa lalu, yang umatnya selalu mengajukan syarat mu’jizat jika ada nabi yang baru dikenal. Jadi, ini hanya alasan klasik saja. Bahkan, jika orang yang berdakwah orang alim sejajar dengan mufti besar, mengikuti sunnah, menggunakan cara lama kenabian, banyak juga ahli ilmu yang tetap lari dan menentang. Seakan bicara dakwah hanya bicara yang pantas dilakukan nabi, bukan lagi orang biasa. Bukankah seharusnya lihat dan dengar apa yang disampaikan, bukan siapa yang berbicara.    


The Real of Dakwah


Nabi Saw sejak dahulu enggan mengkonsumsi makanan-minuman dari hasil sedekah. Hal ini karena menjaga kalau diri dan keluarganya diharamkan mengkonsumsi dari pemberian orang meskipun sudah jelas barang yang halal, agar tidak terdistorsi kalau Nabi Saw menjadi nabi yang “pengemis.” Hingga dakwah Nabi  Saw juga tidak tergerus dengan sedekah (imbalan keduniaan). 


Sedangkan umatnya diperbolehkan. Meskipun dalam berdakwah boleh menerima pemberian (sedekah), namun, jika mau jujur mengikuti model dakwah para nabi dan orang soleh terdahulu, idealnya menolak imbalan apa pun. Risalah langit harus disampaikan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap upah apa pun, kecuali ganjaran dari Allah Swt. Kita bisa melihat kisah ini dalam Surat Yasiin dari ayat 13-29. Terutama ayat ke-21, “. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Maksud dari kata “orang” di sini, adalah para utusan, para da’i. Mereka jelas tidak menghendaki upah apa pun, dan hanya sekedar menyampaikan ajaran (ayat ke-17). Dari itu, orang-orang yang menjaga keikhlasan dakwah pasti menolak segala bentuk pemberian dari orang. Hati kecilnya merasa tergadai jika ada bantuan berupa materi yang datang, karena melihat khazanah Allah Swt yang lebih besar dari sekedar apa yang diperoleh selama di dunia. Dakwah bukan sarana memperkaya diri, hanya sarana untuk perbaikan diri. 


Perbaikan Diri


Sudah disinggung sebelumnya, niat berdakwah adalah niat untuk perbaikan diri. Perbaikan yang bukan seperti para rahib yang mengurung diri pada tempat jauh dari keramaian, hanya beribadah pada Allah Swt. Perbaikan yang dimaksud bertujuan memperkokoh iman, dengan menyampaikan risalah kenabian, kenalkan kalam dakwah (Allah Maha Pencipta, Maha Merajai, dan Maha Pemberi Rezeki) pada semua orang. Jadi bukan mencari simpatisan, membuat group yang bernuansa politis untuk mencapai maksud tertentu dalam pemerintahan. Dakwah dengan syariat orang lain sebagai media, sementara hakikatnya adalah diri sendiri yang didakwahi. Sehingga semakin banyak berdakwah, semakin jauh perjalanan dakwah, buahnya semakin banyak perbaikan diri yang diperoleh. Tidak terlalu peduli dengan hasil yang dicapai, banyaknya pengikut, atau besarnya pengaruh dalam masyarakat. Karena nabi-nabi terdahulu juga berprinsip yang sama. Hanya menyampaikan risalah, yang hidayah hanya ada dalam genggaman Allah Swt. 


Cara pandang dakwah nabi, adalah cara pandang potensi. Dalam diri seseorang ada potensi untuk taat pada Allah dan potensi sebaliknya. Jikalau hanya melirik segala keburukan manusia, dakwah seakan sudah tertutup. Karena hampir semua orang ditemui dengan banyak dosa dan kesalahan. Sama seperti melihat tanah Arab sebagai tempat turunnya Nabi Saw, yang saat itu melihat kondisi masyarakat sudah sangat bobrok dengan praktek jahiliyyah.


Dakwah adalah usaha akhirat, bukan usaha dunia. Dengan bersungguh-sungguh berdakwah, sudah barang tentu Allah Swt akan penuhi janji-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-Ankabut : 69). Perbaikan diri hanya akan didapat dengan cara berdakwah yang diniatkan hanya untuk kehidupan akhirat. Dakwah yang benar-benar diperuntukkan dengan niat islah diri, bukan sekedar menceramahi orang lain lalu meninggalkannya tanpa peduli pada diri sendiri. Dakwah yang mengorbankan diri, harta, dan waktu untuk tegaknya Islam yang sudah mulai layu. 


Penutup


Wahai saudaraku seiman… Kematian Nabi Muhammad Saw adalah sunnatullah. Dan mustahil beliau selalu ada di sisi kita selama ratusan tahun. Ambillah bagian dalam usaha dakwah ini. Siapa pun dan apa pun profesi dirimu, jika merasa umat Nabi Saw, engkau berhak untuk berdakwah. Karena dakwah adalah warisan para nabi. Tidak peduli seberapa banyak ilmu yang sudah engkau raih, dakwah untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari azab Allah Swt yang pedih.  


Seandainya kita harus mengorbankan waktu sebentar untuk menuntut ilmu agama, maka tetap ada kewajiban kita setelah kembali untuk ambil porsi dakwah. Karena tujuan menuntut ilmu untuk mengingatkan orang sekeliling kita, terutama menjaga diri kita sendiri. Renungilah kembali, untuk apa menempuh ilmu agama, jika bukan untuk berdakwah. 


Allah Swt  berfirman :


“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah : 122). 


Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik    


             




Monday 15 June 2015

Perbedaan di antara Sahabat Nabi Saw (II)

Sudah seharusnya dipahami, kedudukan para Nabi pastilah lebih mulia  dari pada kebanyakan manusia. Nabi Nuh as yang terkenal kisah dakwahnya, namun ditentang oleh anaknya sendiri, bukan menunjukkan kegagalan dakwah di mata Allah Swt. Sebab soal hidayah, hanya Allah Swt yang berikan. Lagi pula Nabi Nuh as, termasuk ulul azmi. Bahkan, kita sebagai umat nabi Muhammad Saw diperintahkan sabar dalam dakwah seperti mereka (Qs. Al-Ahqaaf : 35). Hebatnya Nabi Nuh as, hingga kisah-kisahnya diabadikan dalam Qur’an surat Nuh, surat ke-71. Jadi, mohon jangan pernah terlintas kalau Nabi Nuh as nabi yang rendah derajatnya karena ada aibnya.  

Kisah Nabi Musa as yang belajar dengan Nabi Khidhr as, yang kisahnya ada dalam Surat al-Kahfi 60-82. Bukan karena Nabi Musa as posisinya sebagai murid lebih rendah dari gurunya. Bukankah Nabi Saw juga belajar dari Jibril as? Nabi Musa termasuk ulul Azmi dengan banyak kelebihan, yang salah kisah dakwahnya yang terkenal yakni kepada Fir’aun laknatullah. Ayah angkatnya sendiri yang angkuh. 

Begitu pula dengan sahabat-sahabat Nabi Saw yang pada masa permulaan Islam. Kedudukan para muhajirin dan ansar di sisi Allah Swt  sebagai orang yang mendapat kemenangan besar. Allah Meridhoi mereka (Qs. At-Taubah:100). Walaupun kedudukan mereka tidak mungkin sederajat dengan para Nabi, namun tidak mungkin derajat mereka sejajar dengan tabiin. 

Kisah Uwais al-Qorni rah atau Uwais bin Aasim rah, dengan tidak bermaksud merendahkan, sudah sangat terkenal karena baktinya pada ibunya (Hr. Muslim). Rasulallah Saw memang pernah meminta agar Umar ra, agar ia minta didoakan jika bertemu Uwais rah. Umar ra, meski sudah menjadi khalifah dengan segala kebesaran pangkatnya, mau mencari-cari Uwais rah yang hanya rakyat jelata, hanya karena teringat dengan pesan Rasulallah Saw. Rasul Saw perintahkan temui, dan Umar ra lakukan saja. Di mata manusia derajat Umar ra pasti lebih mulia, karena ia seorang sahabat Nabi Saw sedang Uwais rah hanya orang yang sholeh dalam pandangan Rasul Saw (tabiin). Derajat sosial saat itu Umar ra seorang khalifah dan Uwais ra hanya rakyat saja. Lalu di mata Allah Swt soal derajat kemuliaan keduanya? Wallahu a’lam. Tapi cobalah renungkan Umar bin Khattab ra bidadarinya yang berkulit hitam manis, bermata jelita, dan pemalu, sudah terlihat walau Umar ra masih hidup. Tidak kalah hebat dengan Bilal bin Rabbah yang terumpahnya sudah terdengar di surga. Tanpa bermaksud merendahkan orang yang berbakti pada orang tua, seperti Uwais rah, orang yang berjuang untuk tegaknya agama pasti lebih tinggi. Apalagi posisi mereka para sahabat Nabi Saw, seperti Abu Bakar ra, Aisyah rha, dan lain-lain. 

Apa yang terbayang saat mendengar nama ‘Alqamah ra.’ Seorang sahabat Nabi yang durhaka pada ibundanya dan sukar mengalami sakaratul maut? Alqamah ra, dengan segala kekurangannya masih dapat mengucap syahadat menjelang wafat. Sedangkan hari ini, banyak yang taat pada ibu-bapak, banyak yang tidak mampu ucapkan dua kalimat syahadat saat ajal mendekat. 
Pandangan miring terhadap sahabat Alqamah ra. semacam ini perlu segera diluruskan. Sebab, pandangan ini telah beredar luas dan berlaku secara umum yang bermuara pada suatu kesimpulan bahwa Alqamah ra. adalah seorang anak yang durhaka. Apalagi, saat ini seolah-olah hanya kisah Alqamah ra. yang digunakan untuk mengambil hikmah kisah kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Terhadap permasalahan ini, sesungguhnya Rasulullah telah mengingatkan kita dan bersabda yang mahfumnya, “Jika kalian mendengar keburukan-keburukan sahabatku dibicarakan, maka berdiam dirilah kamu.”

Kedurhakaan kepada ibunya itu sebetulnya memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sesungguhnya seorang sahabat pun bisa juga melakukan kesalahan. Sebab, mereka memang bukan orang-orang yang ma’sum sebagaimana Nabi Saw. Dengan demikian, kita mestinya berhati-hati dalam mengisahkan kehidupan Alqamah ra. Apalagi banyak para pakar hadis yang menyatakan kalau kisah alqamah ra dan kisah Tsa’labah memiliki sanad yang lemah. Tsa’labah bin Haathib adalah ahli Badar. Siapa pun tahu posisi para sahabat Nabi Saw yang pernah ikut perang Badar.

Dengan demikian, jika ada perbedaan di antara para sahabat Nabi Saw. Baik karena unsur politik pada masa lalu, atau karena kealfaan diri karena sebagai manusia, jangan pernah terbesit untuk menghina mereka. Sikap mengoreksi amal dengan bermaksud merendahkan, akan menyerek ke arah penghinaan para sahabat. Tradisi menghina sahabat, sama persis dengan tradisi umat sebelumnya, yang dimurkai Allah Swt  karena menghina para Nabinya. Bahkan mereka tidak segan-segan berusaha membunuh para Nabi. 
Harus diakui, para sahabat Nabi Saw, dahulunya jahiliyah. Banyak juga yang menjadi penyembah berhala dan punya kebiasaan buruk lainnya. Misalnya kebiasaan mereka berdagang/berniaga, hingga waktu khotib Jum’at sedang berkhotbah mereka sibuk dengan transaksi. Kekeliruan ini, akhirnya ditegur yang kisahnya ada dalam surat al-Jumuah. Namun, karena banyak para sahabat Nabi Saw yang mantan preman, lalu benar-benar bertaubat, sehingga mereka mujahadah dalam memperbaiki diri sendiri, Allah Swt angkat derajat mereka. Sehingga wajar Rasul Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (Hr. Bukhari & Muslim)

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik   



Wednesday 3 June 2015

Pentingnya Menjaga Nisab 3 Hari

Nisab. Nisab adalah ukuran, limit, atau batas. Nisab ini hasil dari renungan para masayikh yang sudah sangat mujahadah soal dakwah. Mereka menyarankan untuk tahap “latihan” dengan 3 hari atau 72 jam, karena dengan istiqomah menjaga nisab, akan “memancing” pada tahap berikutnya. Kalau sudah terbiasa, sudah istiqomah, maka disarankan untuk 10 hari tiap bulan. Bukan hanya 3 hari saja. Sayangnya, jika ada yang memaksa 10 hari, khawatir belum bisa istiqomah. Bukankah 2 rakaat shalat tahajud yang dilakukan secara istiqomah tiap malam, lebih baik daripada 20 rakaat tahajud namun tidak setiap malam? Jadi maksud 3 hari, adalah agar bisa istiqomah.

Orang tua kita, almarhum Kiayi Khuzairon, dalam salah satu bayannya, dakwah itu dilakukan secara bertahap. Mula-mula latihan 2,5 jam setiap hari. Lalu berkembang 3 hari tiap bulan, 40 hari tiap tahun, dan seterusnya. Intinya tetap sama. Agar bisa diistiqomahkan dalam dakwah. Latihan bertahap.


Dengan tunaikan nisab 3 hari, ini akan menjaga amalan selama satu bulan (kurang lebih 30 hari). Sebab, amalan seorang Muslim, jika ditunaikan akan berlipat ganda 10 kali. Shalat 5 waktu misalnya, yang berpahala 50 waktu. Tentu saja, jika benar tertib 3 hari penuh atau 72 jam, akan menjaga iman sekurang-kurangnya sebulan. Dari itu, jika nisab terlewat, banyak do’a, agar iman kita bisa terjaga.


Nisab 3 hari diibaratnya seperti tanaman yang rutin disiram. Terawat. Memang, ada level-level tertentu yang walaupun kelewat nisab, akan tetap bertahan. Ibaratnya, orang-orang ini termasuk khawas. Prilakunya seperti kaktus. Walau kena air jarang, namun tahan banting. Tapi kebanyakan orang, bukan kalangan ulama. Jadi para masayikh putuskan agar tetap tertib nisab 3 hari bagi siapa pun.  


Harus diakui, banyak juga para ahbab yang nisab 3 hari namun kurang dari 72 sudah bayan wabsy. Memang, dalam usaha dakwah ini tidak perlu dipaksakan. Namun, dengan mengikuti tertib akan ada perubahan sikap. Ini yang perlu. Banyak ahbab yang sudah belasan tahun ikut usaha dakwah, belum menunjukkan perubahan yang lebih baik, mungkin karena kurang tertib-kurang mujahadah. Orang tua kita katakan, dengan 72 jam penuh, Insyaallah nisab bulanan untuk umat. Namun, kalau kurang dari 72 hanya untuk diri sendiri saja. 

Kalau dicermati, dalam nisab tiga hari banyak ahbab dari kalangan tenaga pengajar yang daftari. Sebaiknya kebiasaan ini dihentikan. Barangkali ia berfikir, kalau guru keluar 3 hari penuh, nanti murid-murid menjadi terlantar. Akhirnya mereka belajar jadi tidak faham pelajaran. Apakah guru yang memberi paham, atau Allah Swt yang berikan kepahaman? Seandainya guru itu tetap nongkrong, jagain murid-muridnya, membiarkan nisab 3 hari berlalu, apakah dijamin murid-murid akan paham pelajaran? akan pintar?

Jadi jangan ragu-ragu saat mau tunaikan nisab 3 hari. Setiap mau nisab, sebelum berangkat pasti ada banyak masalah. Padahal, kalau sudah berangkat, masalah itu sebenarnya sepele saja. Namanya juga ujian dan tantangan dakwah. Insyaallah siap semua berangkat nisab 3 hari minggu ini..!!! siapa siap? Insyaallah.

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik