... DAKWAH > untuk Kemajuan diri dan Ummat I Qur'an > jantungnya Surat Yaasin I Masjid > jantungnya masyarakat Islam I Shalat berjamaah > jantungnya masjid I Silaturahmi > jantungnya umat Islam I Dakwah > jantungnya agama I Pengorbanan > jantungnya dakwah I Musyawarah > jantungnya pengorbanan I Sami'na wa atha'na > jantungnya musyawarah I Dakwah > maksud hidup I Hidup > dakwah I Dakwah > sampai mati I Mati > dalam dakwah I La ilaaha illallah muhammadur rasulallah ....

Monday 15 June 2015

Perbedaan di antara Sahabat Nabi Saw (II)

Sudah seharusnya dipahami, kedudukan para Nabi pastilah lebih mulia  dari pada kebanyakan manusia. Nabi Nuh as yang terkenal kisah dakwahnya, namun ditentang oleh anaknya sendiri, bukan menunjukkan kegagalan dakwah di mata Allah Swt. Sebab soal hidayah, hanya Allah Swt yang berikan. Lagi pula Nabi Nuh as, termasuk ulul azmi. Bahkan, kita sebagai umat nabi Muhammad Saw diperintahkan sabar dalam dakwah seperti mereka (Qs. Al-Ahqaaf : 35). Hebatnya Nabi Nuh as, hingga kisah-kisahnya diabadikan dalam Qur’an surat Nuh, surat ke-71. Jadi, mohon jangan pernah terlintas kalau Nabi Nuh as nabi yang rendah derajatnya karena ada aibnya.  

Kisah Nabi Musa as yang belajar dengan Nabi Khidhr as, yang kisahnya ada dalam Surat al-Kahfi 60-82. Bukan karena Nabi Musa as posisinya sebagai murid lebih rendah dari gurunya. Bukankah Nabi Saw juga belajar dari Jibril as? Nabi Musa termasuk ulul Azmi dengan banyak kelebihan, yang salah kisah dakwahnya yang terkenal yakni kepada Fir’aun laknatullah. Ayah angkatnya sendiri yang angkuh. 

Begitu pula dengan sahabat-sahabat Nabi Saw yang pada masa permulaan Islam. Kedudukan para muhajirin dan ansar di sisi Allah Swt  sebagai orang yang mendapat kemenangan besar. Allah Meridhoi mereka (Qs. At-Taubah:100). Walaupun kedudukan mereka tidak mungkin sederajat dengan para Nabi, namun tidak mungkin derajat mereka sejajar dengan tabiin. 

Kisah Uwais al-Qorni rah atau Uwais bin Aasim rah, dengan tidak bermaksud merendahkan, sudah sangat terkenal karena baktinya pada ibunya (Hr. Muslim). Rasulallah Saw memang pernah meminta agar Umar ra, agar ia minta didoakan jika bertemu Uwais rah. Umar ra, meski sudah menjadi khalifah dengan segala kebesaran pangkatnya, mau mencari-cari Uwais rah yang hanya rakyat jelata, hanya karena teringat dengan pesan Rasulallah Saw. Rasul Saw perintahkan temui, dan Umar ra lakukan saja. Di mata manusia derajat Umar ra pasti lebih mulia, karena ia seorang sahabat Nabi Saw sedang Uwais rah hanya orang yang sholeh dalam pandangan Rasul Saw (tabiin). Derajat sosial saat itu Umar ra seorang khalifah dan Uwais ra hanya rakyat saja. Lalu di mata Allah Swt soal derajat kemuliaan keduanya? Wallahu a’lam. Tapi cobalah renungkan Umar bin Khattab ra bidadarinya yang berkulit hitam manis, bermata jelita, dan pemalu, sudah terlihat walau Umar ra masih hidup. Tidak kalah hebat dengan Bilal bin Rabbah yang terumpahnya sudah terdengar di surga. Tanpa bermaksud merendahkan orang yang berbakti pada orang tua, seperti Uwais rah, orang yang berjuang untuk tegaknya agama pasti lebih tinggi. Apalagi posisi mereka para sahabat Nabi Saw, seperti Abu Bakar ra, Aisyah rha, dan lain-lain. 

Apa yang terbayang saat mendengar nama ‘Alqamah ra.’ Seorang sahabat Nabi yang durhaka pada ibundanya dan sukar mengalami sakaratul maut? Alqamah ra, dengan segala kekurangannya masih dapat mengucap syahadat menjelang wafat. Sedangkan hari ini, banyak yang taat pada ibu-bapak, banyak yang tidak mampu ucapkan dua kalimat syahadat saat ajal mendekat. 
Pandangan miring terhadap sahabat Alqamah ra. semacam ini perlu segera diluruskan. Sebab, pandangan ini telah beredar luas dan berlaku secara umum yang bermuara pada suatu kesimpulan bahwa Alqamah ra. adalah seorang anak yang durhaka. Apalagi, saat ini seolah-olah hanya kisah Alqamah ra. yang digunakan untuk mengambil hikmah kisah kedurhakaan seorang anak terhadap ibunya. Terhadap permasalahan ini, sesungguhnya Rasulullah telah mengingatkan kita dan bersabda yang mahfumnya, “Jika kalian mendengar keburukan-keburukan sahabatku dibicarakan, maka berdiam dirilah kamu.”

Kedurhakaan kepada ibunya itu sebetulnya memberikan pelajaran kepada kita, bahwa sesungguhnya seorang sahabat pun bisa juga melakukan kesalahan. Sebab, mereka memang bukan orang-orang yang ma’sum sebagaimana Nabi Saw. Dengan demikian, kita mestinya berhati-hati dalam mengisahkan kehidupan Alqamah ra. Apalagi banyak para pakar hadis yang menyatakan kalau kisah alqamah ra dan kisah Tsa’labah memiliki sanad yang lemah. Tsa’labah bin Haathib adalah ahli Badar. Siapa pun tahu posisi para sahabat Nabi Saw yang pernah ikut perang Badar.

Dengan demikian, jika ada perbedaan di antara para sahabat Nabi Saw. Baik karena unsur politik pada masa lalu, atau karena kealfaan diri karena sebagai manusia, jangan pernah terbesit untuk menghina mereka. Sikap mengoreksi amal dengan bermaksud merendahkan, akan menyerek ke arah penghinaan para sahabat. Tradisi menghina sahabat, sama persis dengan tradisi umat sebelumnya, yang dimurkai Allah Swt  karena menghina para Nabinya. Bahkan mereka tidak segan-segan berusaha membunuh para Nabi. 
Harus diakui, para sahabat Nabi Saw, dahulunya jahiliyah. Banyak juga yang menjadi penyembah berhala dan punya kebiasaan buruk lainnya. Misalnya kebiasaan mereka berdagang/berniaga, hingga waktu khotib Jum’at sedang berkhotbah mereka sibuk dengan transaksi. Kekeliruan ini, akhirnya ditegur yang kisahnya ada dalam surat al-Jumuah. Namun, karena banyak para sahabat Nabi Saw yang mantan preman, lalu benar-benar bertaubat, sehingga mereka mujahadah dalam memperbaiki diri sendiri, Allah Swt angkat derajat mereka. Sehingga wajar Rasul Saw bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in) kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (Hr. Bukhari & Muslim)

Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik   



No comments:

Post a Comment

Komentar dari kamu, menjadi sedekah yang dicatat Allah. Silahkan beri komentar untuk kemajuan blog ini.