... DAKWAH > untuk Kemajuan diri dan Ummat I Qur'an > jantungnya Surat Yaasin I Masjid > jantungnya masyarakat Islam I Shalat berjamaah > jantungnya masjid I Silaturahmi > jantungnya umat Islam I Dakwah > jantungnya agama I Pengorbanan > jantungnya dakwah I Musyawarah > jantungnya pengorbanan I Sami'na wa atha'na > jantungnya musyawarah I Dakwah > maksud hidup I Hidup > dakwah I Dakwah > sampai mati I Mati > dalam dakwah I La ilaaha illallah muhammadur rasulallah ....

Tuesday 16 June 2015

Umat Nabi, Umat Dakwah

Ketika masa jahiliah, peradaban bangsa lain sudah ada. India, China, Yunani, semuanya dikenal memiliki sejarah bangsa-bangsa kuno. Namun, dari kesemuanya itu, Romawi dan Persia yang masih menjadi adidaya. Persia terkenal dengan tentara bergajahnya. Romawi dengan kekuatan militer tempur yang tidak kalah mumpuni. Lalu, mengapa Islam harus melirik ke Arab? Bangsa yang hidup di tengah tanah yang tandus, dengan Mekkah sebagai tempat suci yang lebih dari 300 berhala terbuat dari kayu dan bebatuan.  Jawabannya karena potensi. 

Makkah sangat potensial untuk membangun peradaban manusia yang taat pada Allah Swt. Sebelumnya, Ibrahim as sudah bersusah payah membangun wilayah itu. Ia bahkan meninggalkan Ismail as ke negeri jauh, demi dakwah, bukan demi nafkah. Dan setelah belasan tahun, Nabi Ibrahim as kembali ke Makkah. Bertemu dengan anaknya, Ismail as yang sudah remaja. Ibrahim as juga pernah berdo’a agar keturunannya juga dijadikan pemimpin. Tentu kepemimpinan di sini terkait dengan agama. Sehingga wajar, para mufassir mengatakan 11 keturunan Nabi Ibrahim as dijadikan para nabi. Nabi Muhammad Saw anak cucu Nabi Ibrahim as dari jalur Nabi Ismail as. Allah Swt yang Maha Mengetahui, mengapa harus Nabi Muhammad Saw diturunkan di Makkah. Namun, Makkah sudah punya potensi besar karena pengorbanan para nabi sebelumnya. Bukan tempat baru dan asing.


Nabi Muhammad Saw, nabi pilihan. Nabi terakhir yang dimuliakan dengan diberikan keistimewaan. Salah satunya, dengan menjadikan umat Nabi Saw sebagai umat dakwah. Umat terdahulu, puncak ketaatan diraih dengan cara rahbaniyyah. Mengasingkan diri hanya untuk beribadah. Sehingga wajar, ada banyak kisah kesalehan umat terdahulu yang beribadah hingga ratusan tahun. Sujud berhari-hari, berzikir berbulan-bulan. Sementara umat Muhammad Saw, diberikan umur yang pendek. Diberikan keistimewaan dengan punya kesempatan yang sama dengan Nabi Saw, yakni berdakwah. Sebab, jika bersaing dengan lama dan banyaknya beribadah (rahbaniyyah), rasanya sangat tidak adil. Postur badan umat terdahulu juga lebih kekar. Arkeolog menyebut “raksaksa” untuk bahasa yang sederhana panggilan umat terdahulu. Dengan begitu, jika masih ada umat ini yang berfikir rahbaniyyah adalah cara memperbaiki diri guna mendekatkan diri pada Allah Swt, berarti masih mewarisi pola pikir lama dari umat sebelum Muhammad Saw. 


Model Dakwah


Sebagai umat Muhammad Saw, yang berhak atas warisan dakwah, ada banyak rupa model dakwah yang dijalankan. Ada yang langsung mengikuti cara para nabi, dan ada yang membuat modifikasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Model modifikasi misalnya, selalu memanfaatkan situasi dan keadaan lingkungan. Sunan Kalijaga yang memanfaatkan tabuhan, lirik-lirik, puisi, dan bentuk kesenangan masyarakat lainnya untuk meleburkan dakwah agar mudah diterima. Barangkali pemikiran ini, dakwah harus berbaur dengan peradaban masyarakat. Saat ini juga banyak media cetak, elektronik, maupun internet yang digunakan untuk berdakwah. Tujuannya sama, untuk mengingatkan manusia kepada agama. Mengajak kembali pada Allah Swt. 


Sementara itu, cara lama yang digunakan para nabi dan diteruskan para sahabat Nabi Saw, dengan langsung mendatangi umat. Menyampaikan pentingnya iman dan amal soleh melalui komunikasi verbal. Berkeliling dari rumah ke rumah, pintu ke pintu, dan halayak ramai demi tersiarnya agama. Cara dakwah seperti ini lebih mengena. Sebab obyek dakwah langsung merasakan manfaat dari dakwah (lebih humanis). Selain itu, subyek dakwah juga merasakan manfaat yang sama, yakni niat untuk islah diri (memperbaiki diri). Logika sederhananya, muazin yang mengumandangkan azan secara langsung, akan mempertebal imannya sendiri untuk shalat berjamaah. Pastilah muazin akan ikut sholat berjamaah, karena dia yang memanggil orang-orang untuk azan. Sangat ironi jika muazin setelah ber-azan di masjid lalu ia sendiri malah pulang untuk shalat di rumah. 


Dakwah dengan model lama, jika diterapkan dalam konteks kekinian, bukan tanpa masalah. Masalah yang bermunculan manakala yang ikut ambil bagian dari kerja ini, dilakukan oleh khalayak umum. Bukan hanya kalangan para ulama saja, orang awam pun turut serta dalam dakwah. Wajar. Jika dakwah hanya dipahami sebagai sekedar “penyampaian,” orang yang “menyampaikan” harus mumpuni dalam segala hal. Dari keilmuan dan kesalehan harus “sempurna.” Dirinya dahulu, baru orang lain lain diperbaiki. Pastinya yang paling pantas bukan lagi para ulama, tapi hanya para nabi. Namun, karena nabi sudah tidak diutus lagi, khalayak umum perlu turut ambil bagian dalam kerja dakwah. Tujuannya bukan sekedar penyampaian, tapi islah diri. Meskipun ada beberapa pemahaman, kalau nantinya Nabi Isa as dan Imam Mahdi akan diturunkan menjelang akhir zaman. Risalah kenabian sudah ditutup Nabi Muhammad Saw. Kedatangan mereka berdua hanya untuk membunuh Dajjal. Bukan membuat risalah yang baru dan kitab suci yang baru.  


Pewaris Dakwah


Banyak nada-nada sinis yang dilontarkan pada para da’i yang datang dari orang awam dengan model lama, mengikuti sunnah Nabi Saw dan para sahabatnya. Seakan mereka tersesat, menyesatkan dan membuat ajaran baru. Padahal, dahulu sikap yang sama juga dirasakan pada Nabi Isa as (sebagai tukang kayu), pada Nabi Muhammad Saw (penggembala domba). Mereka berdua seakan berkasta rendah, yang tidak pernah layak untuk menyampaikan ajaran dari Allah Swt. Kalau dahulu, yang menentang dakwah kebanyakan dari kaum musyrikin dan orang-orang kafir, saat ini justru yang mementang dakwah kebanyakan dari kalangan umat Islam sendiri. Motifnya beragam. Ada yang merasa dakwahnya tersaingi, terancam “ladang nafkahnya,” popularitasnya terjungkal, dsb. Lebih-lebih justru kebanyakan dari mereka kalangan ahli ilmu, ahli agama.


Para ahli ilmu banyak menilai kalau zaman ini telah banyak kerusakan yang diderita umat Islam. Mereka juga ingin memperbaiki keadaan. Tapi, cara yang mereka tempuh harus dengan modelnya. Harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu, barulah terjun ke medan dakwah. Bukan tanpa hasil, jika cara ini dilakukan. Sayangnya, jika harus menjadi ahli ilmu terlebih dahulu justru banyak yang enggan berdakwah. Lagi pula, saat ini kerusakan umat juga sudah merambah pada ahli ilmu. Segala bentuk kemaksiatan dan kejahatan, justru dilakukan lebih parah oleh orang yang di-klaim sebagai ahli ilmu. Apalagi dakwah adalah warisan kepada siapa pun yang merasa umat Nabi Muhammad Saw. Seyogyanya ahli ilmu, ahli agama menjadi barisan terdepan dalam dakwah. Terutama dengan dakwah cara lama, cara yang ditempuh nabi-nabi. Atau minimal, berbesar hati kepada cara orang lain berdakwah. Membantu memberikan arahan-arahan bagaimana seharusnya menutupi kekurangan dakwah yang sudah dijalankan. 


Jika mau dikaji lebih lanjut, para ahli ilmu yang menentang pewaris dakwah dengan mengajukan syarat ilmu sebagai pendakwah seperti model masa lalu, yang umatnya selalu mengajukan syarat mu’jizat jika ada nabi yang baru dikenal. Jadi, ini hanya alasan klasik saja. Bahkan, jika orang yang berdakwah orang alim sejajar dengan mufti besar, mengikuti sunnah, menggunakan cara lama kenabian, banyak juga ahli ilmu yang tetap lari dan menentang. Seakan bicara dakwah hanya bicara yang pantas dilakukan nabi, bukan lagi orang biasa. Bukankah seharusnya lihat dan dengar apa yang disampaikan, bukan siapa yang berbicara.    


The Real of Dakwah


Nabi Saw sejak dahulu enggan mengkonsumsi makanan-minuman dari hasil sedekah. Hal ini karena menjaga kalau diri dan keluarganya diharamkan mengkonsumsi dari pemberian orang meskipun sudah jelas barang yang halal, agar tidak terdistorsi kalau Nabi Saw menjadi nabi yang “pengemis.” Hingga dakwah Nabi  Saw juga tidak tergerus dengan sedekah (imbalan keduniaan). 


Sedangkan umatnya diperbolehkan. Meskipun dalam berdakwah boleh menerima pemberian (sedekah), namun, jika mau jujur mengikuti model dakwah para nabi dan orang soleh terdahulu, idealnya menolak imbalan apa pun. Risalah langit harus disampaikan dengan penuh keikhlasan tanpa mengharap upah apa pun, kecuali ganjaran dari Allah Swt. Kita bisa melihat kisah ini dalam Surat Yasiin dari ayat 13-29. Terutama ayat ke-21, “. Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” Maksud dari kata “orang” di sini, adalah para utusan, para da’i. Mereka jelas tidak menghendaki upah apa pun, dan hanya sekedar menyampaikan ajaran (ayat ke-17). Dari itu, orang-orang yang menjaga keikhlasan dakwah pasti menolak segala bentuk pemberian dari orang. Hati kecilnya merasa tergadai jika ada bantuan berupa materi yang datang, karena melihat khazanah Allah Swt yang lebih besar dari sekedar apa yang diperoleh selama di dunia. Dakwah bukan sarana memperkaya diri, hanya sarana untuk perbaikan diri. 


Perbaikan Diri


Sudah disinggung sebelumnya, niat berdakwah adalah niat untuk perbaikan diri. Perbaikan yang bukan seperti para rahib yang mengurung diri pada tempat jauh dari keramaian, hanya beribadah pada Allah Swt. Perbaikan yang dimaksud bertujuan memperkokoh iman, dengan menyampaikan risalah kenabian, kenalkan kalam dakwah (Allah Maha Pencipta, Maha Merajai, dan Maha Pemberi Rezeki) pada semua orang. Jadi bukan mencari simpatisan, membuat group yang bernuansa politis untuk mencapai maksud tertentu dalam pemerintahan. Dakwah dengan syariat orang lain sebagai media, sementara hakikatnya adalah diri sendiri yang didakwahi. Sehingga semakin banyak berdakwah, semakin jauh perjalanan dakwah, buahnya semakin banyak perbaikan diri yang diperoleh. Tidak terlalu peduli dengan hasil yang dicapai, banyaknya pengikut, atau besarnya pengaruh dalam masyarakat. Karena nabi-nabi terdahulu juga berprinsip yang sama. Hanya menyampaikan risalah, yang hidayah hanya ada dalam genggaman Allah Swt. 


Cara pandang dakwah nabi, adalah cara pandang potensi. Dalam diri seseorang ada potensi untuk taat pada Allah dan potensi sebaliknya. Jikalau hanya melirik segala keburukan manusia, dakwah seakan sudah tertutup. Karena hampir semua orang ditemui dengan banyak dosa dan kesalahan. Sama seperti melihat tanah Arab sebagai tempat turunnya Nabi Saw, yang saat itu melihat kondisi masyarakat sudah sangat bobrok dengan praktek jahiliyyah.


Dakwah adalah usaha akhirat, bukan usaha dunia. Dengan bersungguh-sungguh berdakwah, sudah barang tentu Allah Swt akan penuhi janji-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Qs. Al-Ankabut : 69). Perbaikan diri hanya akan didapat dengan cara berdakwah yang diniatkan hanya untuk kehidupan akhirat. Dakwah yang benar-benar diperuntukkan dengan niat islah diri, bukan sekedar menceramahi orang lain lalu meninggalkannya tanpa peduli pada diri sendiri. Dakwah yang mengorbankan diri, harta, dan waktu untuk tegaknya Islam yang sudah mulai layu. 


Penutup


Wahai saudaraku seiman… Kematian Nabi Muhammad Saw adalah sunnatullah. Dan mustahil beliau selalu ada di sisi kita selama ratusan tahun. Ambillah bagian dalam usaha dakwah ini. Siapa pun dan apa pun profesi dirimu, jika merasa umat Nabi Saw, engkau berhak untuk berdakwah. Karena dakwah adalah warisan para nabi. Tidak peduli seberapa banyak ilmu yang sudah engkau raih, dakwah untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari azab Allah Swt yang pedih.  


Seandainya kita harus mengorbankan waktu sebentar untuk menuntut ilmu agama, maka tetap ada kewajiban kita setelah kembali untuk ambil porsi dakwah. Karena tujuan menuntut ilmu untuk mengingatkan orang sekeliling kita, terutama menjaga diri kita sendiri. Renungilah kembali, untuk apa menempuh ilmu agama, jika bukan untuk berdakwah. 


Allah Swt  berfirman :


“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Qs. At-Taubah : 122). 


Subhanallah wa bihamdihi, Subhanakallahumma wa bihamdika Asyhadu Allaailaaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik    


             




No comments:

Post a Comment

Komentar dari kamu, menjadi sedekah yang dicatat Allah. Silahkan beri komentar untuk kemajuan blog ini.